Senin, 23 Februari 2015

LAJU PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DENGAN METODE LONG LINE SISTEM PONDASI DI DESA SARANG TIUNG KECAMATAN PULAU LAUT UTARA KABUPATEN KOTABARU



LAJU PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii
DENGAN METODE LONG LINE SISTEM PONDASI DI DESA SARANG TIUNG
KECAMATAN PULAU LAUT UTARA KABUPATEN KOTABARU

Susri Zulaeni 1), M. Ahsin Rifa`I 2), Yuliyanto 3)
1)Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan , 2) Dosen  Program Studi Ilmu Kelautan
 Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menemukan tingkat pertumbuhan mutlak rumput laut Eucheuma cottonii berdasarkan perlakuan jarak tanam yang berbeda. Penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas produksi yang maksimal dan sebagai bahan informasi tambahan bagi masyarakat petani rumput laut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2014 di Desa Sarang Tiung Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupeten Kotabaru. Penelitian ini menggunakan metode ekperimen dengan 4 perlakuan jarak tanam dan 3 kali ulangan. Perlakuan tersebut adalah 10 cm, 20 cm 30 cm dan 40 cm dengan berat bibit awal 20 gr. Parameter uji pertumbuhan adalah Pertumbuhan Mutlak (PM) dan Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) dengan dianalisis menggunakan ONE WAY ANOVA dan  dilanjutkan  dengan  Uji  Duncan.  Berdasarkan hasil penelitian ini, nilai rata-rata pertumbuhan mutlak (PM) tertinggi diperoleh pada jarak tanam 30 cm dan 40 cm yang masing-masing bernilai 78,33 gr dan 77,08 gr, diikuti pada jarak tanam 20 cm yaitu 15,33 gr dan terendah pada jarak tanam 10 cm yaitu 3,67 gr.  LPS tertinggi berada pada jarak tanam 30 cm dan 40 cm dengan masing-masing bernilai 3,911% dan 5,067%, diikuti pada jarak tanam 20 cm  yaitu 1,438% dan terendah terdapat pada jarak tanam 10 cm yaitu 0,081%. Hasil pengukuran parameter kualitas air menunjukkan bahwa kualitas air dilokasi  penelitian masih dalam kisaran toleransi untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii.

Kata Kunci      : Eucheuma cottonii, jarak tanam, long line

PENDAHULUAN
Rumput laut merupakan salah satu komoditas penting hasil perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting. Kebutuhan rumput laut dunia yang semakin meningkat mendorong meningkatnya usaha budidaya rumput laut. Rumput laut mempunyai fungsi baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung rumput laut menyediakan makanan bagi ikan dan invertebrata terutama talus (thallus) muda (Mann, 1982 dalam Soenardjo, 2011). Secara tidak langsung rumput laut digunakan dalam berbagai industri yaitu pangan, kosmetik, obat-obatan, pupuk, tekstil, kulit dan industri lainnya (Indriani dan Sumiarsih, 1991).
Kabupaten Kotabaru khususnya perairan Desa Sarang Tiung merupakan daerah yang sangat potensial sebagai tempat untuk budidaya rumput laut. Luas lahan yang berpotensi sebagai pengembangan budidaya rumput laut sebesar 300 Ha dan yang termanfaatkan hanya seluas 5 Ha dengan 3 kelompok pembudidaya (Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru, 2014). Budidaya yang mereka terapkan menggunakan metode long line dengan sistem pondasi. Namun metode tersebut belum dapat mencapai produksi yang diharapkan. Hal ini bisa disebabkan oleh pengetahuan masyarakat petani rumput laut yang masih minim, antara lain terhadap teknik jarak tanam yang baik.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pertumbuhan rumput laut adalah jarak tanam. Abdan (2013) menyatakan bahwa jarak tanam merupakan salah satu faktor tehnis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut karena hubungannya dengan penyerapan unsur hara. Asmawati (2010) menyatakan bahwa perbedaan jarak tanam rumput laut pada metode long line memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan spesifik dan produksi rumput laut.
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah Menemukan tingkat pertumbuhan mutlak rumput laut Eucheuma cottonii berdasarkan perlakuan jarak tanam yang berbeda dan mengetahui parameter kualitas air selama penelitian berlangsung.
Kegunaan dari penelitian ini adalah mengetahui laju pertumbuhan Eucheuma cottonii dengan pelakuan jarak tanam.  Diharapkan dapat memperbaiki kualitas produksi yang maksimal dan sebagai bahan informasi tambahan bagi masyarakat petani rumput laut. Upaya peningkatan pendapatan masyarakat petani budidaya rumput laut di Desa Sarang Tiung, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2014. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sarang Tiung Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupeten Kotabaru.
Alat-alat yang digunakan di lapangan pada penelitian ini adalah timbangan 2 kg, Termometer, pH meter, Secchidisk, Layang-layang arus, GPS (Global Potitioning System), Hand-Refraktometer, tali ris dari bahan nilon (Polythylene), pelampung botol air mineral, meteran.
Bahan yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah Rumput laut Eucheuma cottonii  dari petani budidaya rumput laut, Desa Sarang Tiung Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten Kotabaru.
A.           Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode eksperimen, yaitu suatu metode mengadakan kegiatan percobaan untuk melihat suatu hasil atau hubungan antara variabel-variabel yang diselidiki. Tujuan eksperimen adalah untuk menemukan hubungan sebab dan akibat antara variabel (Muhammad, 1992). Penelitian eksperimen adalah memanipulasi secara sistematik suatu kondisi dengan tujuan untuk melihat pengaruhnya terhadap tingkah laku (Fathoni, 2014).
Parameter penunjang yang diamati antara lain kecerahan, kecepatan arus, suhu, pH, salinitas, Nitrat dan Fosfat.
B.            Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) disusun dengan menggunakan 4 perlakuan dengn 3 kali ulangan. Faktor perlakuan yang digunakan adalah perbedaan jarak tanam.
A : jarak tanam bibit 10 cm
B : jarak tanam bibit 20 cm
C : jarak tanam bibit 30 cm
D : jarak tanam bibit 40 cm
Dari perlakuan yang telah diuraikan di atas maka model matematisnya menurut Gasperz (1994) adalah sebagai berikut :
Ytj  =  u  +  ti+  Eij

Dimana:
u          = Nilai tengah populasi
ti              = Pengaruh perlakuan ke-i
Eij        = Eror acak yang dialami oleh pengamatan ke-j dari perlakuan ke-i
i           = Jumlah perlakuan (i= 1, 2, 3...n)
j           = Jumlah ulangan pada perlakuan  (j= 1, 2, 3,..n) atau jumlah suatu percobaan

C.           Persiapan penelitian
Pada tahap ini dilakukan beberapa hal yakni survei lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat budidaya rumput laut Eucheuma cottonii. Bibit yang dipilih untuk budidaya yaitu rumput laut yang kualitasnya bagus dan bercabang banyak atau yang masih muda. Bibit yang ditanam adalah talus bagian ujung rumput laut yang sudah dipotong.
D.           Pelaksanaan penelitian
Pada metode long line sistem pondasi, tali pondasi yang digunakan untuk mengikatkan tali ris sudah dipasang di laut tempat budidaya sehingga yang perlu disiapkan adalah bibit di ikat pada tali ris yang dilakukan di darat. Menyiapkan 12 buah tali ris dengan jarak tiap tali ris 50 cm dengan masing-masing panjang tali ris sekitar 23 meter.  Bibit rumput laut diikatkan pada tali rafia yang telah disimpulkan pada tali ris dengan jarak tanam (10 cm, 20 cm, 30 cm dan 40 cm)  dengan bobot bibit awal 20 gr. Jarak antara tali ris disesuaikan dengan yang telah masyarakat setempat lakukan yaitu 50 cm. Pada tanaman yang akan diteliti diberi tali yang berbeda warna (sebagai penanda) untuk memudahkan dalam mencari saat melakukan pengukuran
 
Gambar 1.      Desain longline sistem pondasi dengan perlakuan jarak tanam yang berbeda
Tanaman uji yang sudah diberi tanda ditimbang setiap 20 hari sekali untuk dipantau pertambahan laju pertumbuhannya, yang dicatat pertambahan berat thallus sampai hari ke 60. Sampel rumput laut pada tali ris ditimbang dengan cara menimbang seluruh bibit pada setiap tali ris kemudian diambil nilai rata-ratanya pada setiap thallus. sebelum rumput laut ditimbang, kondisi rumput laut di biarkan sampai air yang menetes tinggal sedikit agar tidak mempengaruhi berat timbang rumput laut. Setelah ditimbang direndam dalam air laut untuk menghindari kekeringan. Selama masa penanaman, rumput laut tidak diberi perlakuan apapun termasuk dibersihkan dari kotoran yang menempel. Tujuannya adalah supaya hasil pertumbuhan rumput laut murni dipengaruhi oleh keadaan oseanografi lingkungan, tanpa campur tangan manusia.
E.            Pengamatan Parameter Kualitas Air
Tabel 1. Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian
No
Parameter
Satuan
Alat
Waktu Pengukuran
1
Suhu
0C
Thermometer
Setiap kali penimbangan
2
Salinitas
(permil)
Hand-refraktometer
Setiap kali penimbangan
3
Kecepatan Arus
(m/dtk)
Layang-layang Arus
Setiap kali penimbangan
4
Kecerahan
(m)
Secchi disk
Setiap kali penimbangan
5
Kedalaman
(m)
Meteran
Setiap kali penimbangan
6
pH
-
pH meter
Setiap kali penimbangan
8
Nitrat
(mg/l)
Spektrofotometer
Awal dan akhir penelitian
9
Fosfat
(mg/l)
Spektrofotometer
Awal dan akhir penelitian

F.            Analisis Data
1.        Pertumbuhan Berat Mutlak
Menurut Effendi (2003) pertumbuhan berat mutlak diukur secara periodik dari awal hingga akhir penelitian dengan menimbang berat rumput laut. Rumus dari pertumbuhan mutlak adalah sebagai berikut :
Keterangan :
G         = Pertumbuhan berat mutlak rata-rata
Wt       = Berat tanaman uji pada akhir penanaman (g)
W0      = Berat tanaman uji pada awal penanaman (g)
2.             Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS)
Pengukuran dan perhitungan bobot rumput laut sangat penting karena berhubungan erat dengan laju pertumbuhan yang akan digunakan sebagai parameter utama dalam penelitian ini. untuk mengetahui laju pertumbuhan dihitung dengan menggunakan rumus dari Dawes et.al, (1994) adalah sebagai berikut :
Dimana :
LPS        = Laju pertumbuhan Spesifik  (%)
Wt          = Berat tanaman uji pada t waktu Pengamatan (gram)
Wo         = Berat tanaman uji pada waktu awal Penanaman (gram)
t             =  t  Waktu pengamatan (hari)

HASIL
A.           Pertumbuhan Berat Mutlak
Pertumbuhan mutlak rumput laut Eucheuma cottonii yang dipelihara di perairan Desa Sarang Tiung, berdasarkan perlakuan jarak tanam yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. dan Gambar 3.
Tabel 2. Nilai rata-rata laju pertumbuhan mutlak rumput laut Eucheuma cottonii selama penelitian
 Perlakuan
Nilai Rata-rata Pertumbuhan Berat Mutlak Tiap Ulangan (gr)
Total
Rata-rata

1
2
3


A (10 cm)
5,67
1,67
3,67
11,00
3,67
B (20 cm)
19,33
11,33
15,33
46,00
15,33
C (30 cm)
91,67
65,00
78,33
235,00
78,33
D (40 cm)
79,17
75,00
77,08
231,25
77,08
Sumber : Data Hasil Penelitian 2014
Pertumbuhan berat mutlak tertinggi diperoleh pada perlakuan jarak tanam 30 cm yaitu 78, 33 gr, diikuti pada jarak tanam 40 cm yaitu 77,08 gr, pada jarak 20 cm yaitu 15,33 gr dan yang terendah pada jarak tanam 10 cm yaitu 3,67 gr. Berdasarkan hasil analisis ragam One Way Anova terhadap pertumbuhan berat mutlak mendapatkan nilai P = 0,009 < 0,05. Karena nilai probabilitas jauh dibawah 0,05, maka H0 ditolak, atau keempat perlakuan memiliki perbedaan yang signifikan.
Berdasarkan dari Games-Howell  test menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam 30 cm dan 40 cm tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini terlihat pada kolom Mean Difference yang memperlihatkan ada atau tidaknya tanda “*”. Jika ada maka ada perbedaan yang signifikan.
Gambar 2. Grafik rerata kecepatan pertumbuhan mutlak rumput laut Eucheuma cottonii selama penelitian.

B.            Laju Pertumbuhan Spesifik
LPS pada hari ke 20 menunjukkan bahwa tertinggi terdapat pada perlakuan jarak tanam 40 cm yaitu 5,06 % , diikuti jarak tanam 30 cm yaitu 3,91 %, pada jarak 20 cm yaitu 1,43 % dan terendah terdapat pada perlakuan jarak tanam 10 cm yaitu 0,08 %. Pada hari ke 40 LPS tertinggi terdapat pada jarak tanam 30 cm yaitu 3,543 %, diikuti jarak tanam 40 cm yaitu 3,330 %, pada jarak 20 cm yaitu 1,556 % dan terendah pada jarak tanam 10 cm yaitu 0,477 %.  Pada hari ke 60 LPS tertinggi terdapat pada jarak tanam 30 cm yaitu 2,666 %, diikuti jarak tanam 40 cm yaitu 2,622 %, pada jarak 20 cm yaitu 0,941 % dan terendah pada jarak tanam 10 cm yaitu 0,272 %.
Berdasarkan analisis ragam One Way Anova dengan tingkat kepercayaan 95% terhadap laju pertumbuhan spesifik membuktikan bahwa ada perbedaan secara signifikan diantara perlakuan jarak tanam yang didefinisikan per perlakuan dengan nilai signifikan kurang dari 0,05. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dari perlakuan A (10 cm) dengan perlakuan B (20 cm), C (30 cm) dan D (40 cm). Akan tetapi ada dua perlakuan yang tidak memilkii perbedaan yang signifikan yaitu perlakuan C (30 cm) dan perlakuan D (40 cm).
 
Gambar 3. Grafik rerata kecepatan pertumbuhan spesifik rumput laut Eucheuma cottonii selama penelitian.
C.           Parameter Kualitas Air
Parameter  kualitas  air  diamati  setiap 20  hari,  meliputi:  kecepatan  arus,  kedalaman, kecerahan,  pH, suhu, salinitas, nitrat dan fosfat yang diamati  2  kali  selama  penelitian  dimana dilakukan  selama  60 hari  selama  proses penelitian.  Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian, sebagaimana tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Penelitian
No
Parameter
Satuan
Kisaran
Pembanding
1
Suhu
0C
28-32
27-32 Jaya, (2002)
2
Salinitas
(permil)
26-35
30 – 37 (Aslan,1991)
3
Kecepatan Arus
(m/dtk)
0,031-0,055
0,2 – 0,4 (Indriani dan Sumiarsih 1991)
4
Kecerahan
(m)
0,6-0,7
2-5 (Anggadiredja, et al, 2006)
5
Kedalaman
(m)
6,5
2 – 5 (Indriani dan Sumiarsih, 1991)
6
pH (Derajat Keasaman)
-
6,63-8,4
7,0 – 8,5 (Aslan,1991)
8
Nitrat
(mg/l)
0,200-1,400
0.9    3.5 (Sulistijo, 1996)
9
Fosfat
(mg/l)
0,0233-0,069
0.051– 1.00 (Indriani dan Sumiarsih 1991)
Sumber : Data Hasil Penelitian 2014




PEMBAHASAN
A.           Pertumbuhan Berat Mutlak
Perlakuan jarak tanam yang memberikan pertumbuhan berat mutlak tertinggi adalah 30 cm dan 40 cm. Sedangkan yang memberikan pertumbuhan berat mutlak terendah adalah 10 cm. Hasil analisis statistik menunjukkan 30 cm dan 40 cm tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
Menurut pendapat Neish, 2005 dalam Atin, 2013 bahwa jarak tanam berhubungan dengan persatuan luas lahan, semakin luas jarak tanam maka semakin luas pergerakan air yang membawa unsur hara sehingga pertumbuhan rumput laut dapat meningkat. Sedangkan Afrianto  dan  Liviawati  (1993) menyarankan agar bibit tidak kurang dari 20 cm. 
Pertumbuhan mutlak dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Sarang Tiung dengan penelitian dari Abdan tahun 2013 menggunakan metode long line (Desa Ranooha Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara) menunjukkan adanya perbedaan yaitu dengan selisih nilai 31,76 gr. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pertumbuhan mutlak lebih tinggi (78,33 gr) dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Abdan tahun 2013 (46,57 gr). Perbedaan ini diduga dengan adanya karakteristik wilayah budidaya yang berbeda sehingga menghasilkan pertumbuhan mutlak rumput laut.
Tingginya pertumbuhan berat mutlak pada jarak tanam 30 cm dan 40 cm diduga adanya perbedaan sirkulasi nutrien dan kualitas air.  Pada jarak tanam 30 cm  dan 40 cm, lalu lintas pergerakan air normal sehingga dapat menghindari terkumpulnya kotoran pada thalus yang akan membantu pengudaraan untuk proses fotosintesis yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut. Faktor lain yang dianggap berpengaruh adalah adanya gelombang yang besar. Pada masa penelitian dimulai pada saat musim tenggara sehingga gelombang di perairan Desa Sarang Tiung masih tergolong tinggi. Didukung pula oleh letak geografis yang berada pada wilayah perairan terbuka yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Diduga dengan adanya gelombang yang besar kotoran yang menempel dapat terlepas. Metode long line dengan sistem pondasi yang digunakan juga mendukung rumput laut untuk dapat bertahan pada gelombang yang besar. Budidaya rumput laut yang dilakukan di Desa Sarang Tiung menggunakan metode long line dengan sistem pondasi menggunakan tali 22 mm sehingga pondasi rumput laut tidak dapat mudah terlepas walaupun diterjang gelombang yang cukup besar (DKP Kotabaru, 2014).
Doty (1987) menyatakan bahwa jarak tanam bibit merupakan salah satu faktor teknis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut karena hubungannya dengan penyerapan unsur hara sangat berkaitan.
Unsur hara/nutrien yang diperoleh rumput laut untuk pertumbuhannya diantaranya: klor, kalium, natrium, magnesium, belerang, silikon, fospor, kalsium, besi, iodium dan brom (Abdan, 2013). Salah satu unsur hara yang penting yang dibutuhkan oleh rumput laut adalah nitrat. Hasil analisis nitrat menunjukkan nilai dengan kisaran 0,200-1,400 mg/l. Menurut Sulistijo, (1996) menyatakan bahwa setiap jenis alga, untuk keperluan pertumbuhannya memerlukan kandungan nitrat yang  berbeda-beda. Agar fitoplankton dapat tumbuh optimal diperlukan  kandungan nitrat antara 0.9 – 3.5  ppm, tetapi apabila kandungan nitrat di  bawah  0.1 atau di  atas 4.5 ppm maka nitrat menjadi faktor pembatas. Menurut Masyahoro dan Mappiratu  (2009), rumput laut yang memperoleh suplay nutrient yang banyak akan mempercepat pertumbuhannya. Selain itu, kemampuan  bioekologi  bibit  rumput  laut yang dibudidayakan relatif sama untuk beradaptasi terhadap dinamika kondisi perairan, khususnya parameter oseanografi yang meliputi suhu, salinitas, oksigen  terlarut, derajat keasaman, kecerahan, kecepatan arus dan gelombang yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut. Atmadja (2007) menyatakan bahwa rumput laut termasuk tumbuhan yang dalam proses metabolismenya memerlukan kesesuaian faktor-faktor fisika dan kimia perairan seperti gerakan air, suhu, kadar garam, nutrisi atau zat hara (seperti nitrat dan fosfat), dan pencahayaan sinar.
Rendahnya pertumbuhan berat mutlak pada jarak tanam 10 cm diduga akibat rendahnya pergerakan air (arus), dijumpai banyak tumbuhan mikro (lumut) dan  hewan-hewan yang menempel pada thallus, terganggunya fotosintesis, serta persaingan unsur hara antara tumbuha mikro (berupa lumut) dengan  tanaman rumput laut. Dengan jarak 10 cm maka kerapatan rumput laut lebih tinggi dibandingkan dengan jarak yang lain, sehingga terjadi persaingan dalam penyerapan unsur hara. Selain itu, dengan jarak yang rapat kemungkinan dapat terjadi pengumpulan kotoran pada thallus yang akan menutupi thallus sehingga berakibat terganggunya proses fotosintesis.
Kecepatan arus merupakan faktor ekologi yang primer untuk memungkinkan terjadinya aerasi, tanaman dapat memperoleh unsur hara secara tetap,dan terhindar dari bahan-bahan tersuspensi dalam air (silt) dan epifit. Arus sangat bermanfaat dalam menyuplai unsure hara ke dalam jaringan tanaman. Tanaman yang kotor karena tertutup endapan tidak dapat tumbuh dengan baik karena terhalang untuk menyerap makanan dan proses fotosintesis. Selain itu kecepatan arus yang besar dan gelombang yang tinggi dapat menghanyutkan rakit dan rumput laut akan mudah patah (Mubarak et al., 1990).
Pada jarak tanam 10 cm ini, ditemukan hewan-hewan yang menempel pada thallus peliharaan yang menimbulkan bercak-bercak putih. Hal ini menyebabkan  thallus rumput laut mudah patah dan jatuh dibanding perlakuan lainnya. Terganggunya fotosintesis dan persaingan unsur hara turut menyebabkan rendahnya pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Tumbuhan yang ada di sekitar thallus dapat menutupi thallus sehingga mengganggu penyinaran matahari secara langsung yang dibutuhkan oleh rumput laut untuk proses fotosintesis. Hal ini sesuai dengan penelitian Anggadiredja (2006) yang menyatakan bahwa tumbuhan di sekitar tanaman budidaya merupakan kompetitor, sehingga mengganggu pertumbuhan rumput laut.
Hasil uji One Way Anova dan dilanjutkan dengan uji Duncan menunjukkan perlakukan jarak tanam 30 cm dan 40 cm memberikan pengaruh pertumbuhan mutlak yang paling tinggi namun diantara keduanya tidak berbeda nyata. Meskipun demikian jika dilihat dari segi ekonomi maka pertumbuhan berat mutlak yang paling baik adalah perlakuan jarak tanam 30 cm, karena pada perlakuan 30 cm akan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan jarak 40 cm.
B.            Laju Pertumbuhan Spesifik
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa LPS rumput laut Eucheuma cottonii pada perlakuan jarak tanam selama masa pemeliharaan 60 hari menunjukkan perbedaan signifikan pada perlakuan jarak tanam.
LPS pada perlakuan jarak tanam 40 cm mengalami kenaikan pada hari ke-20 yaitu 5,07 %. Kemudian terjadi penurunan pada hari ke-40 hingga hari ke-60. Sedangkan perlakuan jarak tanam 30 cm, 20 cm, dan 10 cm lebih mengalami peningkatan LPS pada hari ke-20 hingga hari ke-40. Kemudian terjadi penurunan pada hari ke-60. 
Penurunan LPS terjadi akibat adanya penambahan bobot thallus yang lebih rendah seiring dengan pertambahan usia pemeliharaan rumput laut yang menyebabkan terjadinya persaingan dalam memperoleh unsur hara dan penyerapan  sinar matahari dalam proses fotosintesis, sehingga laju pertumbuhan  rumput  laut  semakin  menurun.
Hasil analisis LPS rumput laut menunjukkan bahwa semakin mendekati hari ke-60 umur tanam rumput laut, kondisi LPS pada masing-masing perlakuan semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa ada persaingan dalam memperoleh unsur hara, dan adanya kotoran yang menempel pada tallus rumput laut sehingga dapat menghambat rumput laut dalam proses fotosintesis. Selain itu, terdapatnya hewan-hewan pada thallus yang ditandai dengan terpotongnya bagian ujung thallus tanaman rumput laut yang menyebabkan pertumbuhan tiap pengamatan mengalami penurunan. Selanjutnya menurut Yulianto dan Mira (2009) Kerusakan terjadi pada seluruh rumpun, walaupun demikian masih mensisakan potongan-potongan thallus yang masih terikat pada tali rawai. Akibatnya pertumbuhan  menjadi  negativ. Pada sisa thallus yang ”survive” tersebut  setelah  3-5  hari  tumbuh  percabangan  baru  pada  sisi  lateral thallus.
Menurunnya laju pertumbuhan spesifik dikarenakan rendahnya tingkat pertumbuhan yaitu adanya penambahan bobot thallus yang lebih rendah seiring dengan pertambahan usia pemeliharaan rumput laut yang menyebabkan terjadinya persaingan dalam memperoleh unsur hara dan penyerapan sinar matahari dalam proses fotosintesis, sehingga laju pertumbuhan rumput laut semakin menurun. Menurut Yusnaini dkk. (2000) bahwa penurunan laju pertumbuhan spesifik diduga akibat cepatnya terjadi kejenuhan pembelahan sel. Rumput laut yang telah mengalami proses adaptasi kemudian mengalami fase pertumbuhan yang cepat dan kemudian terjadi penurunan kemampuan pertumbuhan sel menyebabkan  pertumbuhan lambat.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, umur panen rumput laut Eucheuma cottonii yang paling optimal adalah pada umur 40 hari. Karena pada umur 40 hari rumput laut masih dapat tumbuh dengan baik. Hal ini berbeda dengan penelitian Cokrowati, dkk., 2013 yang menyarankan rumput laut jenis Eucheuma spinosum baik dipanen pada umur 30 hari (lebih awal). Hal ini karena rumput laut masih mengalami pertumbuhan yang bagus pada umur ± 30 hari dan pada umur tersebut yang mengalami pertumbuhan bagus tidak mampu mempertahankan thallus yang berat setelah melewati 30 hari.
C.           Parameter Kualitas Air
Kualitas air dalam penelitian dilakukan untuk mengetahui kisaran kualitas air  yang ditolerir dan dapat mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii. Suhu yang optimal meningkatkan proses penyerapan  nutrien  sehingga mempercepat pertumbuhan rumput laut karena akan memberikan  kelancaran dan  kemudahan  dalam metabolisme  (Effendi, 2003).  Berdasarkan  hasil pengamatan selama 60 hari rata-rata suhu di perairan Desa Sarang Tiung berkisar  antara 28-32 0C dengan rata-rata 30 0C.
Hasil pengamatan menunjukkan kecenderungan peningkatan suhu mulai hari pertama sampai hari ke-60. Suhu perairan relatif stabil dengan peningkatan yang tidak terlalu drastis. Kisaran suhu hasil pengukuran (28-32 0C) sesuai dengan yang dibutuhkan oleh  Eucheuma cottonii  agar dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu berdasarkan evaluasi suhu perairan menunjukkan bahwa perairan Desa Sarang Tiung layak untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii sesuai dengan pendapat Aslan (1998) suhu yang baik untuk budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii berkisar antara 270C - 300C.  Jaya, 2002 menambahkan suhu yang optimal untuk budidaya rumput laut berkisar 27-32 oC.
Suhu perairan mempengaruhi laju fotosintesis. Nilai suhu perairan yang optimal untuk laju fotosintesis berbeda pada setiap jenis. Menurut Mubarak dan Wahyuni (1981) suhu merupakan faktor sekunder bagi kehidupan rumput laut dan fluktuasi yang tinggi akan dapat terhindar dengan adanya percampuran masa air (watermixing).
Setiap organisme laut memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas termasuk Eucheuma cottonii, sehingga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisme. Hasil pengukuran salinitas di perairan Desa Sarang Tiung diperoleh kisaran salinitas mencapai 26-35 permil dengan rata-rata 29 permil.
Salinitas di perairan Desa Sarang Tiung masih tergolong cukup ideal untuk pertumbuhan rumput laut dengan nilai rata-rata salinitas mencapai 29 permil. Hal ini didukung oleh Amri, (2006), Euchema sp. memiliki toleransi salinitas yang cukup luas dan dapat tumbuh dengan baik pada salinitas perairan 27 – 34 permil. Salinitas pada awal pengukuran termasuk rendah, kondisi ini disebabkan pada hari pengambilan data dilakukan, turun hujan yang berdampak pada kondisi kualitas air tersebut. Hal ini didukung oleh pernyataan Nybakken, 2000 bahwa nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar ke air laut, curah hujan, musim, topografi, pasang surut dan evaporasi.
Arus memiliki pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien dan pengadukan air, sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii. Peranan lain dari arus adalah menghindarkan akumulasi silt dan epifit yang melekat pada thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan alga laut. Bila  arus  yang  tinggi  dapat dimungkinkan terjadi kerusakan tanaman budidaya, seperti dapat patah, robek, ataupun terlepas dari subtratnya, arus yang baik untuk budidaya rumput  laut  berkisar antara 0,2 – 0,4 m/detik (Indriani dan Sumiarsih, 1991). Data yang diperoleh kecepatan arus peairan Desa Sarang Tiung berkisar antara 0,03 – 0,05  m/detik. 
Kondisi arus di perairan Desa Sarang Tiung rata-rata mencapai 0,04 m/detik, dimana kondisi arus pada lokasi belum memenuhi kriteria budidaya rumput laut yang sesuai, hanya saja masih tergolong cukup sesuai untuk Eucheuma cottonii, hal ini dibuktikan dengan adanya tumbuhan mikro (lumut) dan hewan-hewan kecil yang menempel pada rumput laut selama pemeliharaan. Sehingga menghambat pertumbuhan rumput laut itu sendiri. Dengan adanya arus yang lambat memudahkan epifit untuk melekat pada thallus rumput laut selama pembudidayaan. Hal ini didukung oleh pendapat Sulistidjo, (1996), bahwa pada air yang diam tumbuhan kurang mendapatkan nutrien, sehingga mengganggu proses fotosintesis.
Kecerahan perairan laut terkait erat dengan sejauh mana penetrasi cahaya  matahari dapat masuk  ke perairan yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Hasil pengukuran kecerahan di perairan Desa Sarang Tiung berkisar antara 0,6-0,7 m atau berkisar antara 9-11 %. Rendahnya kecerahan di perairan tersebut diduga karena pengaruh arus dan sedimen yang berasal dari selat Makasar. Didukung juga oleh keadaan substrat yang berupa lumpur campur pecahan karang mati yang teraduk oleh gelombang. Dengan demikian, diduga pengaruh sedimen yang berasal dari selat tersebut berkaitan dengan menurunnya tingkat kecerahan di perairan Desa Sarang Tiung.
Fluktuasi rata-rata kedalaman perairan laut pada pengamatan dari hari pertama sampai hari ke-60 relatif sama. Hasil pengukuran kedalaman selama penelitian di perairan Desa Sarang Tiung mencapai rata-rata 6,5 m. Menurut Indriani dan Sumiarsih (1991), kedalaman perairan yang ideal untuk budidaya rumput laut jenis  Eucheuma cottonii  adalah sekitar 2 – 5 meter untuk metode rakit apung, metode rawai  dan  metode  sistem  jalur.  Kondisi  ini  untuk  menghindari rumput  laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.
Salah satu unsur hara yang penting dan dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut adalah nitrat. Hasil analisis konsentrasi nitrat berada pada kisaran 0,30-1,40 mg/l. Tingginya konsentrasi nitrat banyak dipengaruhi oleh kegiatan di daratan yang  menghasilkan sampah organik dan rumah tangga. Arus dari bagian pinggir pantai membawa zat organik terurai sehingga mempengaruhi tingkat kesuburan perairan yang berdampak pada pertumbuhan rumput laut.
Setiap jenis alga, untuk keperluan pertumbuhannya memerlukan kandungan nitrat yang berbeda-beda. Agar fitoplankton dapat tumbuh optimal diperlukan kandungan nitrat antara 0.9 – 3.5 mg/l, tetapi apabila kandungan nitrat di  bawah  0.1 atau di  atas 4.5 mg/l maka nitrat menjadi  faktor  pembatas (Sulistijo, 1996).
Hasil kandungan Fosfat di perairan Desa Sarang Tiung berkisar antara 0,023- 0,069 mg/l. Fosfat dapat menjadi faktor pembatas baik secara temporal maupun spasial karena sumber fosfat yang sedikit di perairan. Kisaran fosfat yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 0.051 mg/l – 1.00 mg/l (Indriani dan Sumiarsih, 1991).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa :
Pertumbuhan Mutlak tertinggi ditemukan pada perlakuan jarak tanam 30 cm  dan 40 cm. Namun, pertumbuhan terbaik ditemukan pada jarak tanam 30 cm.
Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian berada pada kisaran yang  mendukung pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii.
Ucapan Terima kasih
Kedua orang tua penulis, Alm Ayahanda tercinta Sudi Utomo dan Ibunda tercinta Pariyem yang selama ini membimbing, mendoakan, dan memberikan dorongan selama masa studi. Bapak Dr. Ir. Muhammad Ahsin Rifa’I, M.Si dan Yuliyanto, ST, M.Si selaku pembimbing dalam penyelesaian skripsi yang telah banyak membantu dalam berbagai hal terlebih untuk waktu di sela-sela kesibukan yang telah diluangkan bagi penulis untuk berkonsultasi, memberikan saran dan motivasi dalam penyelesaian skripsi.
Daftar Pustaka
Abdan Dkk. 2013. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Karagenan Rumput Laut (Eucheuma spinosum) Menggunakan Metode LongLine. Jurnal Mina Laut Indonesia, Vol. 03 No. 12 Sep 2013, (113– 123).
Afrianto E., dan Liviawaty, E., 1993. Budidaya Laut dan Cara Pengolahannya  Bharata Jakarta. 84 hal.
Amri, Andi. 2006. Pemasaran Hasil Perikanan. Pelatihan budidaya laut (coremap fase ii  kab. Selayar). Yayasan mattirotasi. Makassar.
Anggadiredja TJ, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2006. Rumput Laut. Jakarta :Penebar Swadaya. Jakarta. 147 Jml.
Aslan, M. Laode, 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Asmawati, 2010. Pengaruh Jarak Tanam Bibit Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kadar Karaginan Rumput Laut Varietas Cokelat (Kappaphycus alvarezii) dengan Metode LongLine Di Desa Toli-Toli. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unhalu. Kendari.
Atmadja,  W.,  S.  2007.  Apa  Rumput  Laut  itu sebenarnya?  Divisi  Penelitian  dan Pengembangan Seaweed.  Kelompok Studi  Rumput  Laut  Kelautan. UNDIP. Semarang. 8 hal.
Cokrowati, N. dkk.,2013. Pengaruh Kedalaman Tanam Terhadap Pertumbuhan Eucheuma spinosum Pada Budidaya dengan Metode Rawai. Jurnal Kelautan, Volume 6, No.1
Dawes C.J., Lluisma, A.O., Trono, G.C., 1994. Laboratory and Field Growth Studies of  Commercial  Strains  of  Eucheuma denticulatum  and  Kappaphycus alvarezii  in The Philippines. J. Appl. Phycol. 6: 21–24
DKP, KOTABARU. 2014. Profil Kegiatan Usaha Perikanan di Desa Sarang Tiung Kecamatan Pulau Laut Utara. Kabupaten Kotabaru. Kalimantan Selatan.
Doty MS. 1987. The Production and Uses of  Eucheuma. Di dalam: Doty MS, Caddy JF,Santelices B. Studies of Seven Commercial Seaweeds Resources. FAO Fish. Tech. Paper No.281.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengolahan Sumberdaya Hayati Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta
Fathoni, Toto. 2014. Peneltian Eksperimen. http/file.upi.edu/Direktori/FIP. Diakses tanggal 9 Juli 2014.
Gasperz., 1994. Metode Perancangan Percobaan ; untuk Ilmu–Ilmu Pertanian, Ilmu  Tekhnik  dan  Biologi. CV. Armico. Bandung. 8-13 Hal.
Indriani, H dan Sumiarsih, E. 1991. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut.
Jaya, Husni, 2002. Mengenal Kehidupan Pesisir dan Laut Sebagai Kekayaan Alam Kita. Menara Mega Perkasa.
Masyahoro,  A  dan  Mappiratu,  2009.  Kajian Budidaya  dan  Teknologi  Pengolahan Rumput  Laut  Di  Perairan  Teluk  Palu. Laporan  Pelaksanaan  Penelitian. Kerjasama  Badan  Perencanaan Pembangunan  Daerah  dengan  PKSPLTropis Fakultas Pertanian Untad.
Mubarak H, dkk. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Jakarta ;pusat penelitian dan pengembangan pertanian. Puslitbangkan.IDRC-INFIS.34 hal.
Mubarak, H., dan I.S. Wahyuni. 1981. Percobaan Budidaya Rumput Laut  Eucheuma spinosum di Perairan Lorok Pacitan dan Kemungkinan Pengembangannya. Bul. Panel. Perikanan Vol. 1 No. 2. Badan Litbang Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Muhammad, S. 1992. Diktat Kuliah Dasar-Dasar Metodologi Penelitian dan Rancangan Percobaan. LUW/UNIBRAW/FISH Fisheries Project Malang.
Nyabakken, J., W., 2000. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia. Jakarta.
Soenardjo, nirwani. 2011. Aplikasi budidaya rumput laut Eucheuma cottonii (webervanbosse) dengan metode jaring lepas dasar (net bag) model cidaun. Buletin oseanografi marina. Vol.1 36 – 44.
Sulistijo.  1996.  Perkembangan  Budidaya  Rumput  Laut  di  Indonesia.  Dalam: Pengenalan  Jenis-Jenis  Rumput  Laut  Indonesia.  Pusat  Penelitian dan  Pengembangan  Oseanologi,  Lembaga  Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Yulianto. K., dan Mira. S. 2009. Budidaya Makroalga  K. alvarezii  (Doty) Secara Vertikal  Dengan  Gejala  Penyakit  IceIce  Diperairan  Pulau  Pari.  UPT.  Loka Pengembangan  Kompetensi  SDM Oseanografi Pulau Pari-LIPI.
Yusnaini, Ramli, U.K. Pangerang. 2000. Budidaya Intensif Teripang Pasir Holothuria  scabra  dengan Menggunakan  Alga  Eucheuma  cottoni Sebagai  Shelter.  Laporan Hasil Penelitian  Lembaga  Penelitian. Universitas Haluoleo. Kendari.