LAJU PERTUMBUHAN
RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii
DENGAN METODE
LONG LINE SISTEM PONDASI DI DESA SARANG TIUNG
KECAMATAN PULAU
LAUT UTARA KABUPATEN KOTABARU
Susri
Zulaeni 1), M. Ahsin Rifa`I 2), Yuliyanto 3)
1)Mahasiswa Program Studi Ilmu
Kelautan , 2) Dosen Program
Studi Ilmu Kelautan
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menemukan
tingkat pertumbuhan mutlak rumput laut Eucheuma cottonii berdasarkan
perlakuan jarak tanam yang berbeda. Penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas produksi yang maksimal
dan sebagai bahan informasi tambahan bagi masyarakat petani rumput laut. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2014 di Desa Sarang Tiung Kecamatan
Pulau
Laut Utara Kabupeten Kotabaru. Penelitian ini menggunakan metode ekperimen
dengan 4 perlakuan jarak tanam dan 3 kali ulangan. Perlakuan tersebut adalah 10
cm, 20 cm 30 cm dan 40 cm dengan berat bibit awal 20 gr. Parameter uji
pertumbuhan adalah Pertumbuhan Mutlak (PM) dan Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS)
dengan dianalisis menggunakan ONE WAY ANOVA dan
dilanjutkan dengan Uji
Duncan. Berdasarkan hasil
penelitian ini, nilai rata-rata pertumbuhan mutlak (PM) tertinggi diperoleh
pada jarak tanam 30 cm dan 40 cm yang masing-masing bernilai 78,33 gr dan 77,08
gr, diikuti pada jarak tanam 20 cm yaitu 15,33 gr dan terendah pada jarak tanam
10 cm yaitu 3,67 gr. LPS tertinggi berada
pada jarak tanam 30 cm dan 40 cm dengan masing-masing bernilai 3,911% dan
5,067%, diikuti pada jarak tanam 20 cm
yaitu 1,438% dan terendah terdapat pada jarak tanam 10 cm yaitu 0,081%.
Hasil pengukuran parameter kualitas air menunjukkan bahwa kualitas air
dilokasi penelitian masih dalam kisaran
toleransi untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma
cottonii.
Kata
Kunci : Eucheuma cottonii, jarak tanam, long line
PENDAHULUAN
Rumput laut merupakan salah
satu komoditas penting hasil perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting. Kebutuhan rumput laut dunia yang semakin meningkat
mendorong meningkatnya usaha budidaya rumput laut. Rumput laut mempunyai
fungsi baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung rumput laut
menyediakan makanan bagi ikan dan invertebrata terutama talus (thallus) muda (Mann, 1982 dalam Soenardjo, 2011). Secara tidak
langsung rumput laut digunakan dalam berbagai industri yaitu pangan, kosmetik,
obat-obatan, pupuk, tekstil, kulit dan industri lainnya (Indriani dan
Sumiarsih, 1991).
Kabupaten Kotabaru
khususnya perairan Desa Sarang Tiung merupakan daerah yang sangat potensial
sebagai tempat untuk budidaya rumput laut. Luas lahan yang berpotensi sebagai
pengembangan budidaya rumput laut sebesar 300 Ha dan yang termanfaatkan hanya
seluas 5 Ha dengan 3 kelompok pembudidaya (Dinas Kelautan dan Perikanan
Kotabaru, 2014). Budidaya yang mereka terapkan menggunakan metode long line dengan sistem pondasi. Namun
metode tersebut belum dapat mencapai produksi yang diharapkan. Hal ini bisa
disebabkan oleh pengetahuan masyarakat petani rumput laut yang masih minim,
antara lain terhadap teknik jarak tanam yang baik.
Salah
satu faktor yang menentukan keberhasilan pertumbuhan rumput laut adalah jarak
tanam. Abdan (2013) menyatakan bahwa jarak tanam merupakan salah satu faktor
tehnis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut karena hubungannya dengan
penyerapan unsur hara. Asmawati
(2010) menyatakan bahwa perbedaan jarak tanam rumput laut pada
metode long line memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan mutlak, laju
pertumbuhan spesifik dan produksi rumput laut.
Tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah Menemukan tingkat pertumbuhan mutlak rumput laut Eucheuma cottonii berdasarkan
perlakuan jarak tanam yang berbeda dan mengetahui parameter kualitas air selama
penelitian berlangsung.
Kegunaan dari penelitian ini adalah
mengetahui laju pertumbuhan Eucheuma cottonii dengan pelakuan jarak tanam. Diharapkan dapat memperbaiki kualitas produksi yang maksimal dan sebagai bahan
informasi tambahan bagi masyarakat petani rumput laut. Upaya peningkatan
pendapatan masyarakat petani budidaya rumput laut di Desa Sarang Tiung,
Kecamatan Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober
2014. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sarang Tiung Kecamatan Pulau
Laut Utara Kabupeten Kotabaru.
Alat-alat yang digunakan di lapangan
pada penelitian ini adalah timbangan 2 kg, Termometer, pH meter, Secchidisk, Layang-layang arus, GPS (Global
Potitioning System), Hand-Refraktometer, tali ris dari bahan nilon
(Polythylene), pelampung botol air mineral,
meteran.
Bahan yang digunakan dalam penelitian
di lapangan adalah Rumput laut Eucheuma cottonii dari petani budidaya rumput laut, Desa Sarang
Tiung Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten Kotabaru.
A.
Rancangan Penelitian
Rancangan
penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
metode eksperimen, yaitu suatu metode mengadakan kegiatan percobaan untuk
melihat suatu hasil atau hubungan antara variabel-variabel yang diselidiki.
Tujuan eksperimen adalah untuk menemukan hubungan sebab dan akibat antara
variabel (Muhammad, 1992). Penelitian eksperimen adalah memanipulasi
secara sistematik suatu kondisi dengan tujuan untuk melihat pengaruhnya
terhadap tingkah laku (Fathoni, 2014).
Parameter penunjang yang diamati antara
lain kecerahan, kecepatan arus, suhu, pH, salinitas, Nitrat dan Fosfat.
B.
Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) disusun dengan menggunakan 4 perlakuan
dengn 3 kali ulangan. Faktor perlakuan yang digunakan adalah perbedaan jarak
tanam.
A : jarak tanam bibit 10 cm
B : jarak tanam bibit 20 cm
C : jarak tanam bibit 30 cm
D : jarak tanam bibit 40 cm
Dari perlakuan yang telah diuraikan di atas maka
model matematisnya menurut Gasperz (1994) adalah sebagai berikut :
Ytj =
u + ti+ Eij
Dimana:
u = Nilai tengah populasi
ti = Pengaruh perlakuan ke-i
Eij = Eror acak yang dialami oleh pengamatan
ke-j dari perlakuan ke-i
i = Jumlah perlakuan (i= 1, 2, 3...n)
j = Jumlah ulangan pada perlakuan (j= 1, 2, 3,..n) atau jumlah suatu percobaan
C.
Persiapan penelitian
Pada tahap ini
dilakukan beberapa hal yakni survei lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat
budidaya rumput laut Eucheuma cottonii. Bibit yang dipilih untuk budidaya
yaitu rumput laut yang kualitasnya bagus dan bercabang banyak atau yang masih
muda. Bibit yang ditanam adalah talus bagian ujung rumput laut yang sudah
dipotong.
D.
Pelaksanaan penelitian
Pada metode long line sistem pondasi, tali pondasi yang digunakan untuk
mengikatkan tali ris sudah dipasang di laut tempat budidaya sehingga yang perlu
disiapkan adalah bibit di ikat pada tali ris yang dilakukan di darat.
Menyiapkan 12 buah tali ris dengan jarak tiap tali ris 50 cm dengan
masing-masing panjang tali ris sekitar 23 meter. Bibit rumput laut diikatkan pada tali rafia
yang telah disimpulkan pada tali ris dengan jarak tanam (10 cm, 20 cm, 30 cm
dan 40 cm) dengan bobot bibit awal 20
gr. Jarak antara tali ris disesuaikan dengan yang telah masyarakat setempat
lakukan yaitu 50 cm. Pada tanaman yang akan diteliti diberi tali yang berbeda
warna (sebagai penanda) untuk memudahkan dalam mencari saat melakukan
pengukuran
Gambar
1. Desain
longline sistem pondasi dengan perlakuan jarak tanam yang berbeda
Tanaman uji yang sudah diberi tanda
ditimbang setiap 20 hari sekali untuk dipantau pertambahan laju pertumbuhannya,
yang dicatat pertambahan berat thallus sampai hari ke 60. Sampel rumput laut
pada tali ris ditimbang dengan cara menimbang seluruh bibit pada setiap tali
ris kemudian diambil nilai rata-ratanya pada setiap thallus. sebelum rumput
laut ditimbang, kondisi rumput laut di biarkan sampai air yang menetes tinggal
sedikit agar tidak mempengaruhi berat timbang rumput laut. Setelah ditimbang
direndam dalam air laut untuk menghindari kekeringan. Selama masa penanaman,
rumput laut tidak diberi perlakuan apapun termasuk dibersihkan dari kotoran
yang menempel. Tujuannya adalah supaya hasil pertumbuhan rumput laut murni
dipengaruhi oleh keadaan oseanografi lingkungan, tanpa campur tangan manusia.
E.
Pengamatan Parameter Kualitas Air
Tabel 1. Parameter kualitas air yang diukur selama
penelitian
No
|
Parameter
|
Satuan
|
Alat
|
Waktu Pengukuran
|
1
|
Suhu
|
0C
|
Thermometer
|
Setiap
kali penimbangan
|
2
|
Salinitas
|
(permil)
|
Hand-refraktometer
|
Setiap
kali penimbangan
|
3
|
Kecepatan Arus
|
(m/dtk)
|
Layang-layang Arus
|
Setiap kali penimbangan
|
4
|
Kecerahan
|
(m)
|
Secchi disk
|
Setiap kali
penimbangan
|
5
|
Kedalaman
|
(m)
|
Meteran
|
Setiap kali penimbangan
|
6
|
pH
|
-
|
pH meter
|
Setiap kali penimbangan
|
8
|
Nitrat
|
(mg/l)
|
Spektrofotometer
|
Awal
dan akhir penelitian
|
9
|
Fosfat
|
(mg/l)
|
Spektrofotometer
|
Awal
dan akhir penelitian
|
F.
Analisis Data
1.
Pertumbuhan Berat Mutlak
Menurut Effendi (2003) pertumbuhan berat mutlak diukur
secara periodik dari awal hingga akhir penelitian dengan menimbang berat rumput
laut. Rumus dari pertumbuhan mutlak adalah sebagai berikut :
Keterangan :
G =
Pertumbuhan berat mutlak rata-rata
Wt = Berat
tanaman uji pada akhir penanaman (g)
W0 = Berat tanaman uji pada awal penanaman (g)
2.
Laju
Pertumbuhan Spesifik (LPS)
Pengukuran dan perhitungan bobot
rumput laut sangat penting karena berhubungan erat dengan laju pertumbuhan yang
akan digunakan sebagai parameter utama dalam penelitian ini. untuk mengetahui
laju pertumbuhan dihitung dengan menggunakan rumus dari Dawes et.al, (1994) adalah
sebagai berikut :
Dimana :
LPS =
Laju pertumbuhan Spesifik (%)
Wt = Berat tanaman
uji pada t waktu Pengamatan (gram)
Wo = Berat tanaman
uji pada waktu awal Penanaman (gram)
t = t
Waktu pengamatan (hari)
HASIL
A.
Pertumbuhan Berat Mutlak
Pertumbuhan
mutlak rumput laut Eucheuma cottonii yang
dipelihara di perairan Desa Sarang Tiung, berdasarkan perlakuan jarak tanam
yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.
dan Gambar 3.
Tabel
2. Nilai rata-rata laju pertumbuhan mutlak rumput laut Eucheuma cottonii selama penelitian
Perlakuan
|
Nilai Rata-rata Pertumbuhan Berat Mutlak Tiap Ulangan (gr)
|
Total
|
Rata-rata
|
||
|
1
|
2
|
3
|
|
|
A (10 cm)
|
5,67
|
1,67
|
3,67
|
11,00
|
3,67
|
B (20 cm)
|
19,33
|
11,33
|
15,33
|
46,00
|
15,33
|
C (30 cm)
|
91,67
|
65,00
|
78,33
|
235,00
|
78,33
|
D (40 cm)
|
79,17
|
75,00
|
77,08
|
231,25
|
77,08
|
Sumber
: Data Hasil Penelitian 2014
Pertumbuhan
berat mutlak tertinggi diperoleh pada perlakuan jarak tanam 30 cm yaitu 78, 33
gr, diikuti pada jarak tanam 40 cm yaitu 77,08 gr, pada jarak 20 cm yaitu 15,33
gr dan yang terendah pada jarak tanam 10 cm yaitu 3,67 gr. Berdasarkan hasil
analisis ragam One Way Anova terhadap
pertumbuhan berat mutlak mendapatkan nilai P = 0,009 < 0,05. Karena nilai
probabilitas jauh dibawah 0,05, maka H0 ditolak, atau keempat
perlakuan memiliki perbedaan yang signifikan.
Berdasarkan dari Games-Howell test
menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam 30 cm dan 40 cm tidak terdapat
perbedaan yang signifikan. Hal ini terlihat pada kolom Mean Difference yang
memperlihatkan ada atau tidaknya tanda “*”. Jika ada maka ada perbedaan yang
signifikan.
Gambar 2. Grafik
rerata kecepatan pertumbuhan mutlak rumput laut Eucheuma cottonii selama penelitian.
B.
Laju Pertumbuhan Spesifik
LPS pada hari ke 20 menunjukkan
bahwa tertinggi terdapat pada perlakuan jarak tanam 40 cm yaitu 5,06 % ,
diikuti jarak tanam 30 cm yaitu 3,91 %, pada jarak 20 cm yaitu 1,43 % dan
terendah terdapat pada perlakuan jarak tanam 10 cm yaitu 0,08 %. Pada hari ke
40 LPS tertinggi terdapat pada jarak tanam 30 cm yaitu 3,543 %, diikuti jarak
tanam 40 cm yaitu 3,330 %, pada jarak 20 cm yaitu 1,556 % dan terendah pada
jarak tanam 10 cm yaitu 0,477 %. Pada
hari ke 60 LPS tertinggi terdapat pada jarak tanam 30 cm yaitu 2,666 %,
diikuti jarak tanam 40 cm yaitu 2,622 %, pada jarak 20 cm
yaitu 0,941 %
dan terendah pada jarak tanam 10 cm yaitu 0,272 %.
Berdasarkan analisis
ragam One Way Anova dengan tingkat
kepercayaan 95% terhadap laju pertumbuhan spesifik membuktikan bahwa ada
perbedaan secara signifikan diantara perlakuan jarak tanam yang didefinisikan
per perlakuan dengan nilai signifikan kurang dari 0,05. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa ada perbedaan
yang signifikan dari perlakuan A (10 cm) dengan perlakuan B (20 cm), C (30 cm)
dan D (40 cm). Akan tetapi ada dua perlakuan yang tidak memilkii perbedaan yang
signifikan yaitu perlakuan C (30 cm) dan perlakuan D (40 cm).
Gambar
3. Grafik rerata kecepatan pertumbuhan spesifik rumput laut Eucheuma cottonii selama penelitian.
C.
Parameter Kualitas Air
Parameter kualitas
air diamati setiap 20
hari, meliputi: kecepatan
arus, kedalaman, kecerahan, pH, suhu, salinitas, nitrat dan fosfat yang
diamati 2 kali
selama penelitian dimana dilakukan selama
60 hari selama proses penelitian. Hasil pengukuran kualitas air selama
penelitian, sebagaimana tertera pada Tabel 3.
Tabel
3. Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Penelitian
No
|
Parameter
|
Satuan
|
Kisaran
|
Pembanding
|
1
|
Suhu
|
0C
|
28-32
|
27-32 Jaya, (2002)
|
2
|
Salinitas
|
(permil)
|
26-35
|
30 – 37 (Aslan,1991)
|
3
|
Kecepatan Arus
|
(m/dtk)
|
0,031-0,055
|
0,2 – 0,4 (Indriani dan
Sumiarsih 1991)
|
4
|
Kecerahan
|
(m)
|
0,6-0,7
|
2-5 (Anggadiredja, et al, 2006)
|
5
|
Kedalaman
|
(m)
|
6,5
|
2 – 5 (Indriani
dan Sumiarsih, 1991)
|
6
|
pH (Derajat Keasaman)
|
-
|
6,63-8,4
|
7,0 – 8,5 (Aslan,1991)
|
8
|
Nitrat
|
(mg/l)
|
0,200-1,400
|
0.9 –
3.5 (Sulistijo, 1996)
|
9
|
Fosfat
|
(mg/l)
|
0,0233-0,069
|
0.051– 1.00 (Indriani
dan Sumiarsih 1991)
|
Sumber
: Data Hasil Penelitian 2014
PEMBAHASAN
A.
Pertumbuhan Berat Mutlak
Perlakuan jarak tanam
yang memberikan pertumbuhan berat mutlak tertinggi adalah 30 cm dan 40 cm.
Sedangkan yang memberikan pertumbuhan berat mutlak terendah adalah 10 cm. Hasil
analisis statistik menunjukkan 30 cm dan 40 cm tidak terdapat perbedaan yang
signifikan.
Menurut pendapat Neish, 2005 dalam Atin, 2013 bahwa jarak tanam berhubungan dengan persatuan luas lahan, semakin
luas jarak tanam maka semakin luas pergerakan air yang membawa unsur hara
sehingga pertumbuhan rumput laut dapat meningkat. Sedangkan Afrianto dan
Liviawati (1993) menyarankan agar
bibit tidak kurang dari 20 cm.
Pertumbuhan
mutlak dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Sarang Tiung dengan
penelitian dari Abdan tahun 2013 menggunakan metode long line (Desa Ranooha Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan
Sulawesi Tenggara) menunjukkan adanya perbedaan yaitu dengan selisih nilai
31,76 gr. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pertumbuhan mutlak lebih
tinggi (78,33 gr) dibandingkan
penelitian yang dilakukan oleh Abdan tahun 2013 (46,57 gr). Perbedaan ini
diduga dengan adanya karakteristik wilayah budidaya yang berbeda sehingga
menghasilkan pertumbuhan mutlak rumput laut.
Tingginya
pertumbuhan berat mutlak pada jarak tanam 30 cm dan 40 cm diduga adanya
perbedaan sirkulasi nutrien dan kualitas air.
Pada jarak tanam 30 cm dan 40 cm,
lalu lintas pergerakan air normal sehingga dapat
menghindari terkumpulnya kotoran pada thalus yang akan membantu pengudaraan
untuk proses fotosintesis yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut. Faktor
lain yang dianggap berpengaruh adalah adanya gelombang yang besar. Pada masa
penelitian dimulai pada saat musim tenggara sehingga gelombang di perairan Desa
Sarang Tiung masih tergolong tinggi. Didukung pula oleh letak geografis yang
berada pada wilayah perairan terbuka yang berbatasan langsung dengan Selat
Makassar. Diduga dengan adanya gelombang yang besar kotoran yang menempel dapat
terlepas. Metode long line dengan
sistem pondasi yang digunakan juga mendukung rumput laut untuk dapat bertahan
pada gelombang yang besar. Budidaya rumput laut yang dilakukan di Desa Sarang
Tiung menggunakan metode long line
dengan sistem pondasi menggunakan tali 22 mm sehingga pondasi rumput laut tidak
dapat mudah terlepas walaupun diterjang gelombang yang cukup besar (DKP
Kotabaru, 2014).
Doty (1987) menyatakan bahwa jarak tanam bibit merupakan
salah satu faktor teknis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut
karena hubungannya dengan penyerapan unsur hara sangat berkaitan.
Unsur
hara/nutrien yang diperoleh rumput laut untuk pertumbuhannya diantaranya: klor,
kalium, natrium, magnesium, belerang, silikon, fospor, kalsium, besi, iodium
dan brom (Abdan, 2013). Salah satu unsur hara yang penting yang dibutuhkan oleh
rumput laut adalah nitrat. Hasil analisis nitrat menunjukkan nilai dengan
kisaran 0,200-1,400
mg/l. Menurut Sulistijo, (1996) menyatakan
bahwa setiap jenis alga, untuk keperluan pertumbuhannya memerlukan kandungan
nitrat yang berbeda-beda. Agar
fitoplankton dapat tumbuh optimal diperlukan
kandungan nitrat antara 0.9 – 3.5
ppm, tetapi apabila kandungan nitrat di
bawah 0.1 atau di atas 4.5 ppm maka nitrat menjadi faktor
pembatas. Menurut Masyahoro dan Mappiratu (2009), rumput laut yang memperoleh suplay
nutrient yang banyak akan mempercepat pertumbuhannya. Selain itu,
kemampuan bioekologi bibit
rumput laut yang dibudidayakan
relatif sama untuk beradaptasi terhadap dinamika kondisi perairan, khususnya
parameter oseanografi yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, derajat keasaman, kecerahan,
kecepatan arus dan gelombang yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan
rumput laut. Atmadja (2007)
menyatakan bahwa rumput laut termasuk tumbuhan yang dalam proses metabolismenya
memerlukan kesesuaian faktor-faktor fisika dan kimia perairan seperti gerakan
air, suhu, kadar garam, nutrisi atau zat hara (seperti nitrat dan fosfat), dan
pencahayaan sinar.
Rendahnya
pertumbuhan berat mutlak pada jarak tanam 10 cm diduga akibat rendahnya pergerakan air (arus), dijumpai
banyak tumbuhan mikro (lumut) dan
hewan-hewan yang menempel pada thallus, terganggunya fotosintesis, serta
persaingan unsur hara antara tumbuha mikro (berupa lumut) dengan tanaman
rumput laut. Dengan jarak 10 cm maka kerapatan rumput
laut lebih tinggi dibandingkan dengan jarak yang lain, sehingga terjadi
persaingan dalam penyerapan unsur hara. Selain itu, dengan jarak yang rapat
kemungkinan dapat terjadi pengumpulan kotoran pada thallus yang akan menutupi
thallus sehingga berakibat terganggunya proses fotosintesis.
Kecepatan
arus merupakan faktor ekologi yang primer untuk memungkinkan terjadinya aerasi, tanaman dapat memperoleh unsur
hara secara tetap,dan terhindar dari bahan-bahan tersuspensi dalam air (silt) dan epifit. Arus sangat bermanfaat
dalam menyuplai unsure hara ke dalam jaringan tanaman. Tanaman yang kotor
karena tertutup endapan tidak dapat tumbuh dengan baik karena terhalang untuk
menyerap makanan dan proses fotosintesis. Selain itu kecepatan arus yang besar
dan gelombang yang tinggi dapat menghanyutkan rakit dan rumput laut akan mudah
patah (Mubarak et al., 1990).
Pada
jarak tanam 10 cm ini, ditemukan hewan-hewan yang menempel pada thallus
peliharaan yang menimbulkan bercak-bercak
putih. Hal ini menyebabkan thallus
rumput laut mudah patah dan jatuh dibanding perlakuan lainnya. Terganggunya
fotosintesis dan persaingan unsur hara turut menyebabkan rendahnya pertumbuhan
rumput laut yang dibudidayakan. Tumbuhan yang ada di sekitar thallus dapat menutupi thallus sehingga
mengganggu penyinaran matahari secara langsung yang dibutuhkan oleh rumput laut
untuk proses fotosintesis. Hal
ini sesuai dengan penelitian Anggadiredja (2006) yang menyatakan bahwa tumbuhan
di sekitar tanaman budidaya merupakan kompetitor, sehingga mengganggu pertumbuhan
rumput laut.
Hasil uji One Way Anova dan dilanjutkan dengan uji
Duncan menunjukkan perlakukan jarak
tanam 30 cm dan 40 cm memberikan pengaruh pertumbuhan mutlak yang paling tinggi
namun diantara keduanya tidak berbeda nyata. Meskipun demikian jika dilihat
dari segi ekonomi maka pertumbuhan berat mutlak yang paling baik adalah
perlakuan jarak tanam 30 cm, karena pada perlakuan 30 cm akan menghasilkan
produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan jarak 40 cm.
B.
Laju Pertumbuhan Spesifik
Berdasarkan
hasil uji statistik menunjukkan bahwa LPS rumput laut Eucheuma cottonii pada perlakuan jarak tanam selama masa
pemeliharaan 60 hari menunjukkan perbedaan signifikan pada perlakuan jarak
tanam.
LPS pada
perlakuan jarak tanam 40 cm mengalami kenaikan pada hari ke-20 yaitu 5,07 %.
Kemudian terjadi penurunan pada hari ke-40 hingga hari ke-60. Sedangkan
perlakuan jarak tanam 30 cm, 20 cm, dan 10 cm lebih mengalami peningkatan LPS
pada hari ke-20 hingga hari ke-40. Kemudian terjadi penurunan pada hari
ke-60.
Penurunan LPS
terjadi akibat adanya penambahan bobot thallus yang lebih rendah seiring dengan
pertambahan usia pemeliharaan rumput laut yang menyebabkan terjadinya
persaingan dalam memperoleh unsur hara dan penyerapan sinar matahari dalam proses fotosintesis,
sehingga laju pertumbuhan rumput laut
semakin menurun.
Hasil
analisis LPS rumput laut menunjukkan bahwa semakin mendekati hari ke-60 umur
tanam rumput laut, kondisi LPS pada masing-masing perlakuan semakin menurun.
Hal ini menunjukkan bahwa ada persaingan dalam memperoleh unsur hara, dan
adanya kotoran yang menempel pada tallus rumput laut sehingga dapat menghambat
rumput laut dalam proses fotosintesis. Selain itu, terdapatnya hewan-hewan pada
thallus yang ditandai dengan
terpotongnya bagian ujung thallus
tanaman rumput laut yang menyebabkan pertumbuhan tiap pengamatan mengalami
penurunan. Selanjutnya menurut Yulianto dan Mira (2009) Kerusakan terjadi pada
seluruh rumpun, walaupun demikian masih mensisakan potongan-potongan thallus yang masih terikat pada tali
rawai. Akibatnya pertumbuhan
menjadi negativ. Pada sisa
thallus yang ”survive” tersebut
setelah 3-5 hari
tumbuh percabangan baru
pada sisi lateral thallus.
Menurunnya laju
pertumbuhan spesifik dikarenakan rendahnya tingkat pertumbuhan yaitu adanya
penambahan bobot thallus yang lebih rendah seiring dengan pertambahan usia
pemeliharaan rumput laut yang menyebabkan terjadinya persaingan dalam memperoleh
unsur hara dan penyerapan sinar matahari dalam proses fotosintesis, sehingga
laju pertumbuhan rumput laut semakin menurun. Menurut Yusnaini dkk. (2000)
bahwa penurunan laju pertumbuhan spesifik diduga akibat cepatnya terjadi
kejenuhan pembelahan sel. Rumput laut yang telah mengalami proses adaptasi
kemudian mengalami fase pertumbuhan yang cepat dan kemudian terjadi penurunan
kemampuan pertumbuhan sel menyebabkan
pertumbuhan lambat.
Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan, umur panen rumput laut Eucheuma cottonii yang paling optimal
adalah pada umur 40 hari. Karena pada umur 40 hari rumput laut masih dapat
tumbuh dengan baik. Hal ini berbeda dengan penelitian Cokrowati, dkk., 2013
yang menyarankan rumput laut jenis Eucheuma
spinosum baik dipanen pada umur 30 hari (lebih awal). Hal ini karena rumput
laut masih mengalami pertumbuhan yang bagus pada umur ± 30 hari dan pada umur
tersebut yang mengalami pertumbuhan bagus tidak mampu mempertahankan thallus yang berat setelah melewati 30
hari.
C.
Parameter Kualitas Air
Kualitas
air dalam penelitian dilakukan untuk mengetahui kisaran kualitas air yang ditolerir dan dapat mendukung kehidupan dan
pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii.
Suhu yang optimal meningkatkan proses penyerapan nutrien
sehingga mempercepat pertumbuhan rumput laut karena akan memberikan kelancaran dan kemudahan
dalam metabolisme (Effendi,
2003). Berdasarkan hasil pengamatan selama 60 hari rata-rata
suhu di perairan Desa Sarang Tiung berkisar
antara 28-32 0C dengan rata-rata 30 0C.
Hasil pengamatan menunjukkan kecenderungan
peningkatan suhu mulai hari pertama sampai hari ke-60. Suhu perairan relatif
stabil dengan peningkatan yang tidak terlalu drastis. Kisaran suhu hasil pengukuran
(28-32 0C) sesuai dengan yang dibutuhkan oleh Eucheuma
cottonii agar dapat tumbuh dengan
baik. Oleh karena itu berdasarkan evaluasi suhu perairan menunjukkan bahwa
perairan Desa Sarang Tiung layak untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii sesuai dengan pendapat
Aslan (1998) suhu yang baik untuk budidaya rumput
laut jenis Eucheuma cottonii berkisar
antara 270C - 300C. Jaya, 2002 menambahkan suhu yang optimal
untuk budidaya rumput laut berkisar 27-32 oC.
Suhu
perairan mempengaruhi laju fotosintesis. Nilai suhu perairan yang optimal untuk
laju fotosintesis berbeda pada setiap jenis. Menurut Mubarak dan Wahyuni (1981)
suhu merupakan faktor sekunder bagi kehidupan rumput laut dan fluktuasi yang
tinggi akan dapat terhindar dengan adanya percampuran masa air (watermixing).
Setiap organisme laut memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda
terhadap salinitas termasuk Eucheuma
cottonii, sehingga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisme. Hasil pengukuran salinitas di
perairan Desa Sarang Tiung diperoleh kisaran salinitas mencapai 26-35 permil
dengan rata-rata 29 permil.
Salinitas di
perairan Desa Sarang Tiung masih tergolong cukup ideal untuk pertumbuhan rumput
laut dengan nilai rata-rata salinitas mencapai 29 permil. Hal ini didukung oleh
Amri, (2006), Euchema sp. memiliki
toleransi salinitas yang cukup luas dan dapat tumbuh dengan baik pada salinitas
perairan 27 – 34 permil. Salinitas pada awal pengukuran termasuk rendah,
kondisi ini disebabkan pada hari pengambilan data dilakukan, turun hujan yang
berdampak pada kondisi kualitas air tersebut. Hal ini didukung oleh pernyataan Nybakken,
2000 bahwa nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar ke air
laut, curah hujan, musim, topografi, pasang surut dan evaporasi.
Arus memiliki pengaruh yang besar
terhadap aerasi, transportasi nutrien dan pengadukan air, sehingga berpengaruh
terhadap pertumbuhan rumput laut Eucheuma
cottonii. Peranan lain dari arus adalah menghindarkan akumulasi silt dan
epifit yang melekat pada thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan alga laut. Bila arus
yang tinggi dapat dimungkinkan terjadi kerusakan tanaman
budidaya, seperti dapat patah, robek, ataupun terlepas dari subtratnya, arus
yang baik untuk budidaya rumput
laut berkisar antara 0,2 – 0,4
m/detik (Indriani dan Sumiarsih, 1991). Data yang diperoleh kecepatan arus
peairan Desa Sarang Tiung berkisar antara 0,03 – 0,05 m/detik.
Kondisi arus di perairan
Desa Sarang Tiung rata-rata mencapai 0,04 m/detik, dimana kondisi arus pada
lokasi belum memenuhi kriteria budidaya rumput laut yang sesuai, hanya saja
masih tergolong cukup sesuai untuk Eucheuma
cottonii, hal ini dibuktikan dengan adanya tumbuhan mikro (lumut) dan
hewan-hewan kecil yang menempel pada rumput laut selama pemeliharaan. Sehingga
menghambat pertumbuhan rumput laut itu sendiri. Dengan adanya arus yang lambat
memudahkan epifit untuk melekat pada thallus
rumput laut selama pembudidayaan. Hal ini didukung oleh pendapat Sulistidjo,
(1996), bahwa pada air yang diam tumbuhan kurang mendapatkan nutrien, sehingga mengganggu
proses fotosintesis.
Kecerahan
perairan laut terkait erat dengan sejauh mana penetrasi cahaya matahari dapat masuk ke perairan yang dibutuhkan untuk proses
fotosintesis. Hasil pengukuran kecerahan di perairan Desa Sarang Tiung berkisar
antara 0,6-0,7 m atau berkisar antara 9-11 %. Rendahnya kecerahan di perairan
tersebut diduga karena pengaruh arus dan sedimen yang berasal dari selat
Makasar. Didukung juga oleh keadaan substrat yang berupa lumpur campur pecahan
karang mati yang teraduk oleh gelombang. Dengan demikian, diduga pengaruh
sedimen yang berasal dari selat tersebut berkaitan dengan menurunnya tingkat
kecerahan di perairan Desa Sarang Tiung.
Fluktuasi
rata-rata kedalaman perairan laut pada pengamatan dari hari pertama sampai hari
ke-60 relatif sama. Hasil pengukuran kedalaman selama penelitian di perairan
Desa Sarang Tiung mencapai rata-rata 6,5 m. Menurut Indriani dan Sumiarsih (1991), kedalaman perairan yang ideal
untuk budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii adalah sekitar 2 – 5 meter untuk metode rakit
apung, metode rawai dan metode
sistem jalur. Kondisi
ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan
perolehan sinar matahari.
Salah satu unsur hara yang penting dan dibutuhkan untuk
pertumbuhan rumput laut adalah nitrat. Hasil analisis konsentrasi nitrat berada
pada kisaran 0,30-1,40 mg/l. Tingginya konsentrasi nitrat banyak dipengaruhi
oleh kegiatan di daratan yang
menghasilkan sampah organik dan rumah tangga. Arus dari bagian pinggir
pantai membawa zat organik terurai sehingga mempengaruhi tingkat kesuburan
perairan yang berdampak pada pertumbuhan rumput laut.
Setiap jenis alga, untuk keperluan pertumbuhannya memerlukan kandungan
nitrat yang berbeda-beda. Agar fitoplankton dapat tumbuh optimal diperlukan
kandungan nitrat antara 0.9 – 3.5 mg/l, tetapi apabila kandungan nitrat di bawah
0.1 atau di atas 4.5 mg/l maka
nitrat menjadi faktor pembatas (Sulistijo, 1996).
Hasil
kandungan Fosfat di perairan Desa Sarang Tiung berkisar antara 0,023- 0,069
mg/l. Fosfat dapat menjadi faktor pembatas baik secara temporal maupun spasial
karena sumber fosfat yang sedikit di perairan. Kisaran fosfat yang optimal untuk
pertumbuhan rumput laut adalah 0.051 mg/l – 1.00 mg/l (Indriani dan Sumiarsih,
1991).
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa :
Pertumbuhan
Mutlak tertinggi ditemukan pada perlakuan jarak tanam 30 cm dan 40 cm. Namun, pertumbuhan terbaik
ditemukan pada jarak tanam 30 cm.
Hasil
pengukuran kualitas air selama penelitian berada pada kisaran yang mendukung pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii.
Ucapan
Terima kasih
Kedua orang tua penulis, Alm
Ayahanda tercinta Sudi Utomo dan Ibunda tercinta Pariyem yang selama ini
membimbing, mendoakan, dan memberikan dorongan selama masa studi. Bapak Dr. Ir.
Muhammad Ahsin Rifa’I, M.Si dan Yuliyanto, ST, M.Si selaku pembimbing dalam
penyelesaian skripsi yang telah banyak membantu dalam berbagai hal terlebih
untuk waktu di sela-sela kesibukan yang telah diluangkan bagi penulis untuk
berkonsultasi, memberikan saran dan motivasi dalam penyelesaian skripsi.
Daftar
Pustaka
Abdan
Dkk. 2013. Pengaruh Jarak Tanam
Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Karagenan Rumput Laut (Eucheuma spinosum)
Menggunakan Metode LongLine. Jurnal
Mina Laut Indonesia, Vol. 03 No. 12 Sep 2013, (113– 123).
Afrianto
E., dan Liviawaty, E., 1993. Budidaya Laut dan Cara Pengolahannya Bharata Jakarta. 84 hal.
Amri,
Andi. 2006. Pemasaran Hasil Perikanan. Pelatihan
budidaya laut (coremap fase ii kab.
Selayar). Yayasan mattirotasi. Makassar.
Anggadiredja
TJ, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2006. Rumput Laut. Jakarta :Penebar
Swadaya. Jakarta. 147 Jml.
Aslan,
M. Laode, 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Asmawati, 2010. Pengaruh Jarak Tanam
Bibit Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kadar Karaginan Rumput Laut
Varietas Cokelat (Kappaphycus alvarezii) dengan Metode LongLine Di Desa Toli-Toli. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unhalu. Kendari.
Atmadja, W.,
S. 2007. Apa
Rumput Laut itu sebenarnya? Divisi
Penelitian dan Pengembangan Seaweed. Kelompok Studi Rumput
Laut Kelautan. UNDIP. Semarang. 8
hal.
Cokrowati, N. dkk.,2013. Pengaruh Kedalaman Tanam
Terhadap Pertumbuhan Eucheuma spinosum Pada Budidaya dengan Metode Rawai.
Jurnal Kelautan, Volume 6, No.1
Dawes
C.J., Lluisma, A.O., Trono, G.C., 1994. Laboratory and Field Growth Studies
of Commercial Strains
of Eucheuma denticulatum and
Kappaphycus alvarezii in The
Philippines. J. Appl. Phycol. 6: 21–24
DKP,
KOTABARU. 2014. Profil Kegiatan Usaha Perikanan di Desa Sarang Tiung Kecamatan
Pulau Laut Utara. Kabupaten Kotabaru. Kalimantan Selatan.
Doty
MS. 1987. The Production and Uses of
Eucheuma. Di dalam: Doty MS, Caddy JF,Santelices B. Studies of Seven
Commercial Seaweeds Resources. FAO Fish. Tech. Paper No.281.
Effendi,
H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengolahan Sumberdaya Hayati Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta
Fathoni,
Toto. 2014. Peneltian Eksperimen. http/file.upi.edu/Direktori/FIP.
Diakses tanggal 9 Juli 2014.
Gasperz.,
1994. Metode Perancangan Percobaan ; untuk Ilmu–Ilmu Pertanian, Ilmu Tekhnik
dan Biologi. CV. Armico. Bandung.
8-13 Hal.
Indriani,
H dan Sumiarsih, E. 1991. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut.
Jaya, Husni, 2002. Mengenal Kehidupan Pesisir dan Laut Sebagai Kekayaan
Alam Kita. Menara Mega Perkasa.
Masyahoro, A dan
Mappiratu, 2009. Kajian Budidaya dan
Teknologi Pengolahan Rumput Laut
Di Perairan Teluk
Palu. Laporan Pelaksanaan Penelitian. Kerjasama Badan
Perencanaan Pembangunan
Daerah dengan PKSPLTropis Fakultas Pertanian Untad.
Mubarak H, dkk. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput
Laut. Jakarta ;pusat penelitian dan pengembangan pertanian. Puslitbangkan.IDRC-INFIS.34
hal.
Mubarak,
H., dan I.S. Wahyuni. 1981. Percobaan Budidaya Rumput Laut Eucheuma spinosum di Perairan Lorok
Pacitan dan Kemungkinan Pengembangannya. Bul. Panel. Perikanan Vol. 1 No. 2.
Badan Litbang Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Muhammad,
S. 1992. Diktat Kuliah Dasar-Dasar Metodologi Penelitian dan Rancangan
Percobaan. LUW/UNIBRAW/FISH Fisheries Project Malang.
Nyabakken,
J., W., 2000. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia.
Jakarta.
Soenardjo, nirwani. 2011. Aplikasi
budidaya rumput laut Eucheuma cottonii (webervanbosse) dengan metode jaring
lepas dasar (net bag) model cidaun. Buletin oseanografi
marina.
Vol.1 36 – 44.
Sulistijo. 1996.
Perkembangan Budidaya Rumput
Laut di Indonesia.
Dalam: Pengenalan
Jenis-Jenis Rumput Laut
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Yulianto.
K., dan Mira. S. 2009. Budidaya Makroalga
K. alvarezii (Doty) Secara
Vertikal Dengan Gejala
Penyakit IceIce Diperairan
Pulau Pari. UPT.
Loka Pengembangan Kompetensi SDM Oseanografi Pulau Pari-LIPI.
Yusnaini,
Ramli, U.K. Pangerang. 2000. Budidaya Intensif Teripang Pasir Holothuria scabra
dengan Menggunakan Alga Eucheuma
cottoni Sebagai Shelter. Laporan Hasil Penelitian Lembaga
Penelitian. Universitas Haluoleo. Kendari.